Tax Questions

Opini dan Tanya Jawab Perpajakan Indonesia

ESPT: KONEKSI DATABASE GAGAL

Posted by harto subekti on March 30, 2018

Lapor SPT 1770 S via efiling menggunakan menu “panduan”, di tahap akhir efiling hang, diam membisu. Tanpa rasa berdosa sedikitpun efiling memaksa ssya untuk memulai dari awal lagi. Padahal sudah banyak yang saya isi. Menyadari bahwa ternyata saya termasuk golongan rakyat kecil maka saya terima perlakuan zalim ini. Lagian di luar sana masih banyak, rakyat kecil maupun rakyat besar, yang bernasib sama, terzalimi oleh efiling.

Untuk menghindari kezaliman yang sama berulang, saya memutuskan untuk lapor efiling dengan menggunakan menu upload. Dengan cara ini spt saya buat di espt kemudian file espt saya upload, jika gagal upload tinggal ulangi lagi tanpa harus menyusun lagi dari awal SPT-nya.

Espt pun saya install (versi terbaru keliatanya). Espt saya jalankan, lancar awalnya. Pas koneksi database pesan eror berikut muncul (“The ‘Microsoft.ACE.OLEDB.12.0’ provider is not registered on the local machine” ).

gbr eres 1

Browsing di internet, akhirnya ketemu “solusinya” di:

https://www.mikesdotnetting.com/article/280/solved-the-microsoft-ace-oledb-12-0-provider-is-not-registered-on-the-local-machine

gambar berikut solusi yang disarankan:

gbr eres 2

Komputer saya sytem 64 byte dengan Ms Windows 10 harusnya download database engine 2010 dan memilih versi yang 64 byte. Ternyata setelah di-download dan di-install ga mengatasi masalah.

Browsing lagi, ketemu saran aneh tapi manjur, dia bilang download dan install database engine yang 2007 (padahal ini versi 32 byte). Dia bilang jangan tanya saya kenapa. Sami’na Waato’na, saya coba dan berhasil.

Ini alamat kalo mau download database engine versi yang 2007:

https://www.microsoft.com/en-us/download/confirmation.aspx?id=23734

Silahkan dicoba,semoga bermanfaat.

Posted in Perpajakan | Tagged: , , | Leave a Comment »

REKONSILASI PEREDARAN USAHA MENURUT LAPORAN KEUANGAN (SPT PPH BADAN) VS SPT MASA PPN

Posted by harto subekti on January 15, 2018

Rekonsiliasi peredaran usaha menurut laporan keuangan (SPT PPh Badan) versus SPT Masa PPN (selanjutnya disebut rekonsiliasi) dilakukan untuk memastikan bahwa semua objek pajak baik objek PPH Badan maupun objek PPN telah dihitung dibayar/disetor pajaknya dan dilaporkan dalam SPT sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku.

Berikut disajikan format rekonsiliasi yang dilaksanakan dengan cara melakukan penyesuaian atas saldo peredaran usaha menurut Laporan Keuangan (SPT PPh Badan) menuju ke Nilai DPP yang dilaporkan dalam SPT Masa PPN selama 12 bulan. Format rekonsiliasi seperti ini yang biasanya diminta oleh auditor pajak saat dilakukan pemeriksaan oleh kantor pajak (Direktorat Jenderal Pajak).

rekonsiliasi pph vs ppn PIC2

Format rekonsiliasi di atas merupakan format untuk rekonsiliasi yang dilakukan secara tahunan. Format tersebut dapat diaplikasikan untuk rekonsilasi yang dilakukan secara bulanan dengan beberapa penyesuaian.

Berikut penjelasan dari format rekonsilasi di atas.

a. Penjualan/Peredaran usaha menurut Laporan Keuangan

Angka ini merupakan angka penjualan (revenue) sesuai laporan laba rugi. Angka ini dapat juga dilihat pada Lampiran I SPT PPh Badan baris paling atas.

b1/c1. Saldo Penjualan yang Diakru

Penjualan yang diakru adalah penjualan yang sudah diakui dalam catatan akuntansi tetapi belum ditagih (belum diterbitka invoice penjualan). Pengusaha Kena Pajak (PKP) boleh memilih untuk menerbitkan faktur pajak (FP) pada saat invoice penjualan diterbitkan. Jika pilihan ini diambil maka saldo penjualan yang diakru di akhir tahun merupakan angka penjualan yang sudah diakui dalam laporan laba rugi tetapi belum dilaporkan dalam SPT Masa PPN. Oleh karena itu saldo akhir dari penjualan yang diakru (c1) harus dikurangkan dalam rekonsilisi. Sebaliknya saldo awal penjualan yang diakru merupakan angka penjualan yang tidak diakui dalam laporan laba rugi (sudah diakui pada laporan laba rugi tahun sebelumnya) tetapi dilaporkan dalam SPT Masa PPN. Oleh karena itu saldo awal penjualan yang diakru (b1) ditambahkan dalam rekonsilisi. Untuk rekonsiliasi bulanan angka yang dipakai adalah angka saldo awal dan saldo akhir bulan.

b2/c2. Uang Muka Penjualan

Jika pembayaran dilakukan sebelum penyerahan barang kena pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak (JKP) terjadi maka PKP wajib memungut dan menerbitkan FP saat menerima pembayaran tersebut. Saat PKP menerima uang muka maka akan diterbitkan FP dan atas uang muka tersebut dicatat pada akun “Uang Muka Penjualan” (bukan akun pendapatan). Oleh karena itu saldo akhir uang muka penjualan (b2) harus ditambahkan pada rekonsiliasi. Sebaliknya saldo awal uang muka penjualan dikurangkan. Untuk rekonsiliasi bulanan angka yang dipakai adalah angka saldo awal dan saldo akhir bulan.

b3. Objek PPN yg dilaporkan sebagai pendapatan Nonoperasional

Angka penjualan/pendapatan yang dibandingkan pada baris a merupakan angka penjualan/ pendapatan dari kegiatan utama perusahaan yang terdapat di bagian atas laporan laba rugi (sebelum dikurangi harga pokok penjualan/beban langsung). Oleh karena itu pendapatan yang dilaporkan pada bagian pendapatan nonoperasional yang merupakan objek PPN harus ditambahkan dalam rekonsiliasi.

e. Penyerahan yang Dilaporkan pada SPT Masa PPN

Angka ini merupakan angka seluruh penyerahan baik yang terutang PPN maupun tidak terutang PPN yang dilaporkan pada induk SPT Masa PPN (formulir 1111) baris I.C (jumlah seluruh penyerahan).

f. Jumlah Objek PPN kurang dipungut (Objek PPh kurang)

Jumlah ini harus 0 (nol). Jika angka ini positif maka dapat diartikan terdapat objek PPN yang tidak/belum dipungut PPN, sehingga terdapat kurang pungut PPN sebesar 10% dari angka tersebut. Sebaliknya jika angka ini negatif maka dapat diartikan masih terdapat objek PPh Badan yang belum termasuk dalam penghitungan PPh Badan, sehingga terdapat kurang bayar PPh Badan sebesar 25% dari angka tersebut.

Salah satu opsi jika angka pada baris f ini tidak nol adalah melakukan pembetulan SPT.

Posted in Perpajakan | Tagged: | Leave a Comment »

PPH PASAL 21 DITANGGUNG PERUSAHAAN HARUSKAH DI-GROSS UP?

Posted by harto subekti on December 31, 2016

PPh pasal 21 pada dasarnya merupakan beban/tanggungan dari karyawan ybs. Artinya karyawan akan membawa pulang penghasilannya setelah terlebih dahulu dipotong PPh pasal 21 oleh pemberi kerja. Namun demikian sesuai kesepakatan, perusahaan bisa saja menanggung PPh Pasal 21 karyawan. Pada kondisi ini perusahaan memiliki dua pilihan. Pilihan pertama perusahaan menghitung PPh Pasal 21 seperti biasa kemudian pajaknya ditanggung. Dengan cara ini pajak yang ditanggung tersebut sesuai peraturan perpajakan dianggap sebagai kenikmatan, sehingga pada penghitungan PPh Badan atas beban pajak ini harus dilakukan penyesuaian fiskal positif. Pilihan kedua perusahaan memberikan tunjamgan pajak dengan jumlah yang sama persis dengan jumlah PPh Pasal 21 yang harus dipotong (melakukan gross up). Dengan cara ini karena jumlah tunjangan pajak tsb telah dimasukan sebagai unsur penghasilan dalam menghitung PPh Pasal 21 karyawan, maka tunjangan pajak ini boleh dibebankan dalam penghitungan PPh Badan perusahaan.

Bagi karyawan apapun pilihannya, dia akan membawa pulang penghasilannya dalam jumlah yang sama yaitu penghasilan tanpa dipotong pajak. Bagi perusahaan dengan melakukan gross up, jumlah pajak yang harus dibayarkan menjadi lebih besar karena adanya tambahan penghasilan bruto karyawan berupa tunjangan pajak. Apakah ini berarti pilihan meng-gross up merupakan pilihan yang tidak menguntungkan perusahaan?

Dengan melakukan gross up, maka jumlah pajak yang ditanggung dapat dikurangkan dari penghasilan bruto dalam penghitungan PPh Badan. Dengan demikian PPh Badan perusahaan akan berkurang sebesar jumlah PPh Pasal 21 yang ditanggung dikali tarif PPh Badan. Jadi melakukan gross up pada dasarnya menggeser beban pajak yang tadinya dikenakan di PPh Badan ke PPh Pasal 21. Ingat jika PPh Pasal 21 ditanggung perusahaan maka baik PPh Pasal 21 maupun PPh badan menjadi beban perusahaan.

Perusahaan harus membandingkan tarif PPh Pasal 21 dengan tarif PPh Badan. Jika tarif PPh Pasal 21 lebih rendah maka perusahaan harus menggeser pengenaan pajak pada PPh Pasal 21 (melakukan gross up), jika sebaliknya maka perusahaan harus menggeser pengenaan pajak pada PPh Badan (tidak melakukan gross up). Perhatikan ilustrasi berikut.

grossup-gbr-0

Kita lihat contoh kondisi yang pertama, yaitu tarif PPh Pasal 21 lebih rendah dari tarif PPh badan sehingga pilihan melakukan gross up lebih menguntungkan. Untuk memudahkan pemahaman kita misalkan besarnya PPh Pasal 21 dihitung dengan cara mengalikan penghasilan bruto dengan tarif pajak. Tarif PPh Pasal 21 dalam contoh yang pertama ini 5%, sedangkan tarif PPh Badan 25% dengan jumlah gaji yang diberikan sebesar Rp1.000.000,-. Perhatikan penghitungan di bawah ini.

grossup-gbr-1

Dapat dilihat pada penghitungan di atas, dengan melakukan gross up perusahaan dapat menurunkan beban sebesar Rp10.526,-. Dengan demikian melakukan gross up merupakan pilihan yang lebih baik.

Kita lihat contoh kondisi yang kedua, yaitu tarif PPh Pasal 21 lebih tinggi dari tarif PPh badan sehingga pilihan tidak melakukan gross up lebih menguntungkan. Dengan menggunakan contoh yang sama dengan contoh pertama kecuali tarif PPh Pasal 21 diubah menjadi 30%, sedangkan tarif PPh Badan tetap 25%. Perhatikan penghitungan di bawah ini.

grossup-gbr-2

Pada contoh yang kedua ini, dengan tidak melakukan gross up perusahaan dapat menurunkan beban sebesar Rp21.429,-. Dengan demikian tidak melakukan gross up merupakan pilihan yang lebih baik.

Demikian ulasan tentang pilihan melakukan gross up atau tidak atas PPh Pasal 21 yang ditanggung oleh perusahaan.

Semoga bermanfaat.

Posted in Perpajakan | Leave a Comment »

Langkah Menyiapkan Aplikasi e-FAKTUR

Posted by harto subekti on April 16, 2016

Bagi Anda yang membutuhkan informasi mengenai langkah-langkah yang harus dilakukan untuk menyiapkan aplikasi e-Faktur hingga siap untuk digunakan, tulisan ini mungkin bisa membantu. Diperlukan enam langkah untuk membuat aplikasi e-Faktur siap digunakan di komputer kita.

Data yang perlu disiapkan

Berikut data-data yang diperlukan dan yang juga diperoleh dalam enam langkah menyiapkan aplikasi e-Faktur:

1) Kode aktivasi, diperlukan saat install aplikasi e-Faktur

2) Password aktivasi, diperlukan saat login di e-Nofa.

3) Passphrase, diperlukan saat instalasi sertifikat elektronik dan instal aplikasi e-Faktur.

4) Username (berupa 15 digit angka NPWP), diperlukan saat login di e-Nofa.

Berikut enam langkah yang harus dilakukan untuk menyiapkan aplikasi e-Faktur.

1. Mengajukan permohonan Kode Aktivasi

PKP akan memperoleh kode aktivasi dan password

2. Mengajukan permohonan Sertifikat Elektronik

2.1 Mengajukan permohonan Sertifikat Elektronik ke KPP tempat PKP terdaftar

Dari langkah ini kita akan memperoleh passphrase.

2.2 Download sertifikat elektronik dari E-nofa

Alamat website E-nofa adalah https://efaktur.pajak.go.id/. Login dengan menggunakan username yang berupa 15 digit angka NPWP dan password aktivasi.

3. Impor file sertifikat elektronik hasil download dari e-Nofa ke Windows.

3;1 Masuk ke folder tempat file sertifikat elektronik hasil download disimpan, double klik pada nama file.

3.2 Muncul tampilan Certificate Import Wizard, klik Next

3.3 Muncul tampilan untuk menentukan file sertifikat elektronik yang akan diimpor, klik Next

3.4 Muncul tampilan untuk mengisi password, isi kotak password dengan passphrase.

3.5 Muncul tampilan untuk menentukan folder tempat penyimpanan sertifikat elektronik, klik Next.

3.6 Muncul tampilan yang meminta konfirmasi, klik finish untuk menyelesaikan proses impor sertifikat elektronik

3.7 Muncul tampilan Security Warning, klik “yes”.

4. Instalasi sertifikat elektronik ke browser (mozilla)

4.1 Buka internet browser mozilla

4.2 Klik Option > Pilih Advance > klik tab Certificates > View Certificates

4.3 Pada form certificate, klik tab Your Certificate > Import

4.4 Saat muncul dialog box arahkan ke folder tempat file certificate, klik file certificate > klik open

4.5 Saat diminta memasukan password, isikan passphrase

4.6 Muncul pesan yang menyatakan instalasi sukses.

Catatan:

1). Pada saat diminta file sertifikat elektronik, arahkan ke folder tempat file hasil download dari E-nofa disimpan (bukan folder yang ditunjuk pada saat file tsb diimport ke windows/langkah 3.5).

2.) Instalasi sertifikat elektronik ke browser selain mozilla dilakukan dengan cara yang berbeda.

5. Install aplikasi e-Faktur

5.1 Hubungkan komputer dengan internet

5.2 Klik Etaxinvoice.exe

aplikasi secara otomatis akan melakukan update ke versi paling baru dan meminta untuk merestart aplikasi

5.3 Lakukan koneksi database

5.4 Aplikasi akan meminta untuk lakukan registrasi etaxinvoice

Registrasi hanya dilakukan sekali saja, yaitu pada saat pertama kali aplikasi dijalankan. Lakukan langkah-langkah berikut:

1). Isi NPWP

2). Klik open pada sertifikat elektronik, arahkan ke folder tempat download sertifikat elektronik

3). Isi passphrase kemudian klik ok

4). Isi kode aktivasi dan klik register

5). Isi captcha

6). Isi password (password akun pajak bukan passphrase)

6. Menjalankan aplikasi e-Faktur

Data-data yang perlu disiapkan untuk menjalankan aplikasi e-Faktur adalah:

1). Username

2). Password

Untuk menjalankan aplikasi e-Faktur, jalankan langkah-langkah berikut:

1). Hubungkan komputer dengan internet

2). Klik Etaxinvoice.exe (program otomatis akan melakukan update software jika ada, setelah update program otomatis akan ditutup, ulangi lagi langkah ini)

3). Pilih database (lokal atau network), klil “connect”.

4). Isi username dan password, klik “login”.

5). Aplikasi e-Faktur siap untuk dijalankan.

Demikian enam langkah menyiapkan aplikasi e-Faktur hingga siap digunakan. Bagi rekan-rekan yang ingin mengajukan pertanyaan, menjawab pertanyaan atau ingin berbagi pengalaman/pengetahuan terkait e-Faktur silahkan ditulis di bagian comment.

Semoga bermanfaat.

Posted in Perpajakan | Tagged: , , , , , | Leave a Comment »

Setting Ukuran Kertas pada ESPT PPh Badan

Posted by harto subekti on April 28, 2010

Mungkin banyak yang mengalami masalah yang sama dengan saya ketika menggunakan program ESPT PPh Badan. Pada saat menggunakan menu print ternyata hasil cetakan baik tampilan di layar maupun print-outnya terpotong pada tempat yang tidak semestinya. Halaman satu induk misalnya, terpotong menjadi dua halaman. Anehnya masalah ini tidak terjadi di semua komputer.

Banyak solusi yang disarankan dari temen maupun hasil browsing di internet. Hampir semua saya coba tapi tidak banyak membantu mangatasi masalah tersebut (untuk komputer saya). Sampai pada detik-detik terakhir saya temukan solusi sederhana berikut ini:

  1. Uninstall program ESPT PPh Badan.
  2. Lakukan Setting ukuran kertas default printer dengan Legal (pada beberapa komputer cukup ukuran Folio).
  3. Install ulang ESPT PPh Badan.

Untuk mengubah default ukuran kertas lakukan langkah-langkah berikut:

  1. Klik Start > Control Panel > Printer and Fax
  2. Pilih/sorot printer yg dipakai (default printer) kemudian klik kanan,
  3. Klik propertis, muncul jendela properties
  4. Klik Tab Advance,
  5. Klik Default Setting,
  6. Pilih Ukuran kertas menjadi legal kemudian klik Ok, klik Ok lagi sampai semua jendela tertutup.

Untuk mengecek apakah ukuran default sudah berubah ke legal, klik kanan pada printer yang dipakai (default printer) kemudian klik printer preferences. Seharusnya ukuran kertas yang muncul kertas legal (8,5 inc X 14 inc).

Semoga bermanfaat.

Taxlink Sofware Peraturan Pajak

(http://microtax.tokobagus.com)

Posted in Perpajakan | 33 Comments »

PENGHASILAN BERUPA UANG PESANGON, UANG MANFAAT PENSIUN, TUNJANGAN HARI TUA, DAN JAMINAN HARI TUA YANG DIBAYARKAN SEKALIGUS.

Posted by harto subekti on December 6, 2009

Pada tanggal 16 Nopember 2009 diundangkan Peraturan Pemerintah nomor 68 tahun 2009 tentang tarif pajak penghasilan pasal 21 atas penghasilan berupa uang pesangon, uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua, dan jaminan hari tua yang dibayarkan sekaligus. Peraturan Pemerintah ini menggantikan PP nomor 149 tahun 2000 dan berlaku sejak tanggal diundangkan. Dengan terbitnya PP ini maka terjadi beberapa perubahan penting terkait perhitungan dan pemotongan PPh pasal 21 atas penghasilan berupa uang pesangon, uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua, dan jaminan hari tua yang dibayarkan sekaligus.

Beberapa perubahan penting dengan berlakunya pada PP nomor 68 tahun 2009 ini adalah:

1.Definisi pembayaran sekaligus

2.Tarif

3.Sifat Pemotongan

Definisi Penting:

1.Uang Pesangon adalah penghasilan yang dibayarkan oleh pemberi kerja termasuk Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja kepada pegawai, dengan nama dan dalam bentuk apapun, sehubungan dengan berakhirnya masa kerja atau terjadi pemutusan hubungan kerja, termasuk uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak.

2.Uang Manfaat Pensiun adalah penghasilan dari manfaat pensiun yang dibayarkan kepada orang pribadi peserta dana pensiun secara sekaligus sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang dana pensiun oleh Dana Pensiun Pemberi Kerja atau Dana Pensiun Lembaga Keuangan yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan.

3.Tunjangan Hari Tua adalah penghasilan yang dibayarkan sekaligus oleh badan penyelenggara tunjangan hari tua kepada orang pribadi yang telah mencapai usia pensiun. 4.Jaminan Hari Tua adalah penghasilan yang dibayarkan sekaligus oleh badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja kepada orang pribadi yang berhak dalam jangka waktu yang telah ditentukan atau keadaan lain yang ditentukan.

Jika karena alasan keuangan, pembayaran Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua atau Jaminan Hari Tua yang seharusnya dibayarkan sekaligus, dilakukan dalam beberapa kali pembayaran maka penghasilan tersebut dianggap dibayarkan sekaligus dalam hal sebagian atau seluruh pembayarannya dilakukan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun kalender (pasal 2 ayat (2) dan penjelasannya).

Jika pemberi kerja mengalihkan Uang Pesangon secara sekaligus kepada Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja, maka pegawai dianggap telah menerima hak atas Uang Pesangon sehingga pemberi kerja berkewajiban untuk memotong PPh pasal 21. Namun demikian jika pengalihan Uang Pesangon ini dilakukan secara bertahap atau berkala, maka pegawai dianggap belum menerima hak atas Uang Pesangon. Demikian juga jika terjadi pengalihan Uang Mantaat Pensiun kepada perusahaan asuransi jiwa dengan cara Dana Pensiun membeli anuitas seumur hidup, Pegawai sebagai peserta dianggap telah menerima hak atas Uang Manfaat Pensiun vang dibayarkan secara sekaligus sehingga pemberi kerja wajib melakukan pemotongan PPh pasal 21.

Tarif Pajak

Terdapat dua macam tarif pajak yaitu tarif pajak untuk uang pesangon dan tarif pajak untuk penghasilan berupa Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua.

Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 atas penghasilan belupa Uang Pesangon ditentukan sebagai berikut:

1.sebesar 0% (nol persen) atas penghasilan bruto sampai dengan Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah);

2.sebesar 5% (lima persen) atas penghasilan bruto di atas Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sampai dengan Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah);

3.sebesar 15% (lima belas persen) atas penghasilan bruto di atas Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) sampai dengan Rp500.000.000,00 (1ima ratus juta rupiah);

4.sebesar 25% (dua puluh lima persen) atas penghasiian bruto di atas Rp500.000.000.00 (lima ratus juta rupiah).

Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 atas penghasilan berupa Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua ditentukan sebagai berikut:

1.sebesar 0% (nol persen) atas penghasilan bruto sampai dengan Rp50.000.000.00 (lima puluh juta rupiah):

2.sebesar 5% (lima persen) atas penghasilan bruto di atas Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).

Pembayaran pada tahun ketiga dan tahun-tahun berikutnya

Dalam hal terdapat bagian penghasilan yang terutang atau dibayarkan pada tahun ketiga dan tahun-tahun berikutnya, pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 dilakukan dengan menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan atas jumlah bruto seluruh penghasilan yang terutang atau dibayarkan kepada pegawai pada masing-masing tahun kalender yang bersangkutan. Pajak Penghasilan Pasal 21 yang dipotong tidak bersifat final dan dapat diperhitungkan sebagai pembayaran pajak pendahuluan atau kredit pajak. Jika penerima penghasilan tidak memiliki NPWP maka dikenakan tarif yang lebih tinggi 20%.

Bukti Potong dan Pelaporan

Pemotong Pajak wajib memberikan bukti pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 baik diminta maupun tidak pada saat dilakukannya pemotongan pajak kepada Pegawai yang berhak menerima Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua. Kewajiban menghitung, memotong, menyetorkan, dan melaporkan serta kewajiban memberikan bukti pemotongan, tetap dilakukan terhadap Pegawai yang dikenai tarif 0% (nol persen).

Peraturan Peralihan

Pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas uang pesangon, uang tebusan pensiun atau uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua, atau jaminan hari tua yang diperoleh Pegawai sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini dan pembayarannya dilakukan setelah Peraturan Pemerintah ini berlaku, berlaku ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 149 Tahun 2000 tentang Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan Berupa Uang Pesangon, Uang Tebusan Pensiun, dan Tunjangan Hari Tua atau Jaminan Hari Tua.

Posted in Perpajakan | Leave a Comment »

Perhitungan Pemotongan PPh Pasal 21 Berubah Lagi

Posted by harto subekti on November 1, 2009

Pada tanggal 12 Oktober 2009 Direktur Jenderal Pajak mengeluarkan Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-57/PJ/2009 yang mengubah PER 31/PJ/2009. Seperti kita ketahui kedua peraturan tersebut berisi pedoman teknis tata cara pemotongan, penyetoran dan pelaporan PPh pasal 21/26. Secara umum yang diubah oleh peraturan yang terakhir ini adalah perhitungan untuk pemotongan PPh pasal 21 untuk bukan pegawai seperti yang disebutkan pada pasal 3 huruf c. Untuk bukan pegawai tersebut perhitungan “penghasilan neto”-nya berubah yaitu penghasilan bruto dikalikan dengan 50%. Sebelumnya hanya bukan pegawai yang termasuk kategori tenaga ahli yang penghasilan brutonya dikalikan 50%.

Secara rinci ada tiga perhitungan pemotongan PPh pasal 21 yang berubah yaitu sbb:

  • Bagi bukan pegawai yang menerima penghasilan yang bersifat berkesinambungan dan memenuhi syarat pasal 13 ayat 1 (memiliki NPWP, hanya memperoleh penghasilan dari pemotong PPh ps 21/26 dan tidak memiliki penghasilan lain) perhitungan PPh pasal 21 yang harus dipotong adalah:

Jml Potongan = ((50% X Pengh Bruto)- PTKP/12) X tarif ps 17 (1) hrf a
*) tarif dikenakan secara kumulatif.

  • Bagi bukan pegawai yang menerima penghasilan yang bersifat berkesinambungan tetapi tidak memenuhi syarat pasal 13 ayat 1 (memiliki NPWP, hanya memperoleh penghasilan dari pemotong PPh ps 21/26 dan tidak memiliki penghasilan lain) perhitungan PPh pasal 21 yang harus dipotong adalah:

Jmlh Potongan = (50% X Pengh Bruto) X tarif ps 17 (1) huruf a

*) tarif dikenakan secara kumulatif.

  • Bagi bukan pegawai yang menerima penghasilan yang tidak bersifat berkesinambungan perhitungan PPh pasal 21 yang harus dipotong adalah:

Jmlh Potongan = (50% X Penghasilan Bruto) X tarif ps 17 (1) huruf a

Perlu dikemukakan di sini bahwa dengan dikeluarkanya peraturan Dirjen Pajak ini maka perhitungan pemotongan PPh pasal 21 untuk Tenaga Ahli diperlakukan sama dengan perhitungan pemotongan terhadap bukan pegawai lainnya. Peraturan Dirjen Pajak yang baru ini berlaku surut sejak 1 Januari 2009 sehingga wajib pajak idealnya harus melakukan pembetulan SPT Masa PPh pasal 21/26 masa pajak Januari – September. Tentunya jika pada bulan-bulan tersebut terdapat pembayaran kepada bukan pegawai yang termasuk dalam definisi pasal 3 huruf c.

Posted in Perpajakan | 1 Comment »

LEBIH BAYAR PPN HARUSKAH DIRESTITUSI PADA AKHIR TAHUN

Posted by harto subekti on August 27, 2009

Tiba-tiba saya dapat pertanyaan dari seorang teman, “apa benar lebih bayar PPN tidak boleh lagi dikompensasi melewati akhir tahun?”. Sayangnya dia tidak menyebutkan dasar hukumnya, dia hanya mendengar bahwa lebih bayar PPN tidak boleh lagi dikompensasi di akhir tahun alias harus direstitusi. Dalam UU PPN tidak ada keharusan untuk melakukan restitusi lebih bayar diakhir tahun. Pada masa pajak manapun kalau terjadi lebih bayar maka wajib pajak boleh memilih untuk melakukan kompensasi ke masa pajak berikutnya atau melakukan restitusi. Barangkali pertanyaan itu timbul karena adanya kecenderungan wajib pajak tertentu yang menghindari restitusi karena adanya konsekwensi dilakukannya pemeriksaan oleh DJP atas adanya permohonan restitusi tersebut. Kalau ini yang menjadi alasan maka pilihan untuk memilih restitusi pada akhir tahun menjadi masuk akal.

Dalam Surat Edaran DJP nomor SE-10/PJ.04/2008 yang berisi Kebijakan Pemeriksaan disebutkan dalam bagian “kebijakan Umum” point i tentang “Pemeriksaan SPT Masa PPN Lebih Bayar” disebutkan hal-hal sbb:

  1. Pemeriksaan harus dilakukan apabila Wajib Pajak menyampaikan SPT Masa PPN yang menyatakan Lebih Bayar Restitusi, kecuali SPT Masa PPN yang menyatakan Lebih Bayar Restitusi tersebut disampaikan oleh Wajib Pajak dengan Kriteria Tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C Undang-Undang KUP dan Wajib Pajak yang memenuhi Persyaratan Tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17D Undang-Undang KUP.
  2. Pemeriksaan terhadap SPT Masa PPN Lebih Bayar ditentukan sebagai berikut :
  • Apabila Wajib Pajak menyampaikan SPT Masa PPN yang menyatakan Lebih Bayar Kompensasi, pemeriksaannya ditunda sampai dengan kompensasi tersebut direstitusi atau ditunda sampai dengan akhir Tahun Pajak apabila sampai dengan akhir Tahun Pajak Wajib Pajak tetap tidak mengajukan restitusi. Dengan demikian, ruang lingkup pemeriksaan untuk SPT Masa PPN yang menyatakan Lebih Bayar Kompensasi dalam suatu Tahun Pajak tidak boleh lebih dari 12 (dua belas) Masa Pajak.
  • Dalam hal pemeriksaan terhadap SPT Masa PPN yang menyatakan Lebih Bayar Restitusi terdapat kompensasi dari Masa Pajak-Masa Pajak sebelumnya, maka pemeriksaan harus mencakup seluruh Masa Pajak yang menyatakan Lebih Bayar Kompensasi tersebut dengan menerbitkan 2 (dua) Surat Perintah Pemeriksaan, yaitu 1 (satu) Surat Perintah Pemeriksaan untuk Masa Pajak yang menyatakan Lebih Bayar Restitusi dan 1 (satu) Surat Perintah Pemeriksaan untuk Masa Pajak-Masa Pajak lainnya yang menyatakan Lebih Bayar Kompensasi.

Memperhatikan Surat Edaran ini maka ada dua hal penting yang dapat dikemukan disini terkait dengan pertanyaan di atas. Pertama, bagi WP dengan kriteria tertentu dan WP yang memenuhi persyaratan tertentu pertanyaan tersebut menjadi tidak relevan karena bagi WP ini meskipun mengajukan permohonan restitusi tidak akan dilakukan pemeriksaan oleh DJP. Kedua, bagi wajib pajak lainnya pilihan restitusi pada akhir tahun merupakan pilihan yang tepat karena baik kompensasi maupun restitusi memiliki konsukwensi yang sama yaitu dilakukannya pemeriksaan oleh DJP.

Posted in Perpajakan | 17 Comments »